Sumber Ajaran Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”. Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis, kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

1.2 Rumusan Masalah
Ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad ?
1.2.2 Apa fungsi dari al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad ?
1.2.3 Bagaimana kedudukan al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber ajaran islam ?
1.2.4 Apa saja keutamaan al-Qur’an menurut sabda Rasulullah ?
1.2.5 Apa saja macam-macam dari hadits ?
1.2.6 Apa saja bentuk-bentuk dari ijtihad ?

1.3 Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar pembaca dapat mengetahui dan memahami lebih dalam tentang al-Qur’an, hadits, dan ijtihad sebagai sumber ajaran islam.

BAB II
ISI

2.1 Sumber – Sumber Ajaran Islam Primer
2.1.1 Al-Qur’an
2.1.1.1 Pengertian Al-Qur’an
Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.
Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak). Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya (Risalah Islam, 2013).
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).
Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani (Risalah Islam, 2013).

2.1.1.2 Fungsi Al-Qur’an
1.      Al-Huda (petunjuk). Dalam fungsi ini ada tiga kategori, Pertama, Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia secara umum (Al-Baqarah:185). Kedua, Al-Qur’an petunjuk bagi orang – orang yang bertakwa (Al-Baqarah:2). Ketiga, petunjuk bagi orang – orang yang beriman (Fushilat: 44 dan Yunus: 57).
2.      Al-Furqon (pembeda). Disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa ia adalah pembeda yang hak dengan yang batil (QS. Al-Baqarah: 185).
3.      Al-Syifa (obat). Al-Qur’an juga sebagai obat penyakit dalam dada/psikologis (QS. Yunus: 57).
4.      Al-Mauidzoh (nasihat). Al-Qur’an juga sebagai nasihat bagi orang – orang yang bertakwa (QS. Ali Imron: 138).
(Uchi Rubiya, 2014)

2.1.1.3 Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah
1.    Sebaik – baiknya orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarakannya.
2.    Umatku yang paling penting mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Tirmidzi).
3.    Orang – orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat – malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
4.    Seseungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5.    Bacalah Al’Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al – Qur’an sebagai penolong bagi pembacanya (HR. Tirmidzi) (Puja Kurnia. M, 2013).

2.1.2 Hadits
2.1.2.1 Pengertian Hadits atau Sunnah
Hadits berarti perkataan atau ucapan secara bahasa. Sedangkan menurut istilah, hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadits juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadits membedakan antara hadits dengan sunnah. Hadits adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah merupakan segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadits dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang satu sama lainnya saling terkait. Bagian-bagian hadits tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
A.     Sanad, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menyampaikan hadits dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang.
B.      Matan, yaitu isi atau materi hadits yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah saw.
C.      Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadits dari Baginda Rasulullah saw. (Amanah, 2014).

2.1.2.2 Kedudukan Hadits atau Sunnah sebagai Sumber Ajaran Islam                               
Seluruh umat islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin (Penjelasan) terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapa pun tidak bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri (Anggara, 2015).
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al-Qur’an maupun dalam hadits nabi Muhammad SAW, Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…
Artinya : “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Hasyr/59:7).
Selain itu, firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an yang berbunyi:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya : “Barangsiapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80).

2.1.2.3 Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah dari Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’an kepada umat manusia. Oleh sebab itu, hadits berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’anul Karim. Fungsi hadits terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut.
A.    Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-Qur’an yang memerintahkan Shalat. Perintah Shalat di dalam al-Qur’an masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang Shalat, baik tentang tata cara maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Misalnya untuk menjelaskan perintah Shalat tersebut keluarlah sebuah hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku Shalat”. (H.R. Bukhari)
B.     Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’an, Seperti sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadits dari Rasulullah Saw. yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim).
C.     Menerangkan maksud dan tujuan ayat Sebagai contoh, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini kemudian dijelaskan oleh hadits yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi).
D.    Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, maka diambil dari hadits yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari
ibunya.” (H.R. Bukhari).

2.1.2.4 Macam – Macam Hadits
Ditinjau dari segi perawinya, hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
A.    Hadits Mutawattir
Hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadits yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim).
B.     Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadits jenis ini adalah hadits yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi).
C.     Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas perawi hadits (orang yang meriwayatkannya), hadits dibagi ke dalam empat bagian berikut.
a.       Hadits Shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadits ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
b.      Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadits Shahih, hadits ini juga dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
c.       Hadits Da'if, yaitu hadits yang tidak memenuhi kualitas hadits Shahih dan hadits hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi umat dalam beribadah.
d.      Hadits Maudu’, yaitu hadits yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadits palsu. Dikatakan hadits padahal sama sekali bukan hadits. Hadits ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadits ini adalah hadits tertolak (Amanah, 2014).

2.2 Sumber – Sumber Ajaran Islam Sekunder
2.2.1 Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam (Ahmad Fuad Khasan, 2011).
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
(Ahmad Fuad Khasan, 2011)

2.2.2 Syarat-Syarat Mujtahid Sebagai Sumber Ajaran Islam
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad yang berbeda hukum yang dihasilkan antara satu ulama dengan ulama yang lain. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang mujtahid.
1.  Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
2.  Memiliki pemahaman tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah) secara  mendalam.
3.  Memahami cara merumuskan hukum (istinba ̄).
4.  Memiliki keluhuran akhlak yang mulia (Amanah Tigetige, 2014).

2.2.3 Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam
Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan  hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami) Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad "sesuai dengan kemampuan dan ilmunya", kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya: “Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
(Amanah Tigetige, 2014)

2.2.4 Macam-Macam Ijtihad
Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam;
1.    Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
2.    Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
3.    Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
(Ahmad Fuad Khasan, 2011)

2.2.5 Bentuk-bentuk Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam
2.2.5.1 Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan. Kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi masyarakat. Sebuah keputusan bersama yang
dilakukan oleh para ulama yang kemudian harus melalui proses perundingan, baru kemudian disepakati. Hasil dari Ijma' adalah Fatwa. Fatwa adalah keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2.2.5.2 Qiyas
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan. Menetapkan suatu hukum suatu perkara baru yang belum pernah ada di masa sebelumnya namun memiliki kesamaan karakteristik. Aspek atau karakteristik itu berdasarkan kesamaan sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek lainnya. Dalam Islam, Ijma' dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang ada problem yang belum di tetapkan pada masa sebelumnya, beberapa definisi Qiyas :
1.    Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2.    Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
3.    Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

2.2.5.3 Ishtisan
Beberapa definisi tentang Ishtisan
1.    Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2.    Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
3.    Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4.    Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5.    Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

2.2.5.4 Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya, karena dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip. menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

2.2.5.5 Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

2.2.5.6 Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

2.2.5.7 Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
(Angger Siswanto, 2012)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mempelajari agama merupakan fardhu’ain, yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedangkan mengkaji ajaran islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber ajaran terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber ajaran islam primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan sumber ajaran islam sekunder adalah ijtihad.
3.2 Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber – sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajari sesuai dengan Al-Qur’an dan tuntunan Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam Hadist.

DAFTAR PUSTAKA

Risalah Islam. 2013. Sumber Ajaran Islam : Al-Qur’an, hadits, Ijtihad.
http://www.risalahislam.com/2013/10/sumber-ajaran-islam-al-quran-hadits.html?m=1
Diakses pada tanggal 22 September 2016
Ayuri, Julian. 2015. Makalah Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam.
http://julianayuri27.blogspot.co.id/2015/09/makalah-al-quran-sebagai-sumber-ajaran.html?m=1
Diakses pada tanggal 22 September 2016
Kurnia M., Puja. 2010. Makalah Sumber Ajaran Agama Islam.
http://makalah4all.wap.sh/Data/Kumpulan+makalah+pertanian/_xtblog_entry/9601685-makalah-sumber-ajaran-agama-islam?_xtblog_block_id=1
Diakses pada tanggal 22 September 2016
Tigetige, Amanah. 2014. Hadis atau Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam.
http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/10/hadis-atau-sunnah-sebagai-sumber-hukum.html
Diakses pada tanggal 23 September 2016
Rii, Anggara. 2015. Hadis Sebagai Sumber Ajaran Agama.
http://arianggara01.blogspot.co.id/2015/06/hadis-sebagai-sumber-ajaran-agama.html
Diakses pada tanggal 23 September 2016
Fuad Khasan, Ahmad. 2011. Ijtihad, Taqlid, Talfiq dan Ittiba’.
http://ahmadfuadhasan.blogspot.co.id/2011/06/ijtihad-taqlid-talfiq-dan-ittiba_23.html
Diakses pada tanggal 23 September 2016
Tigetige, Amanah. 2014. Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam dalam upaya Memahami al-Qur’an dan Hadis
http://kisahimuslim.blogspot.co.id/2014/10/ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam.html
Diakses pada tanggal 23 September 2016
Siswanto, Angger. 2012. Jenis-Jenis Ijtihad.
http://temansekamar.blogspot.co.id/2012/10/jenis-jenis-ijtihad.html

Diakses pada tanggal 23 September 2016

Post a Comment

0 Comments