Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Berangkat dari hal di atas, maka penulis memutuskan untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat.”

B.     Rumusan Masalah

1.      Konsep Masyarakat Madani.
2.      Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.
3.      Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat.
4.      Manajemen Zakat dan Waqaf.

C.    Ruang Lingkup

1.      Bagaimana Konsep Masyarakat Madani?
2.      Bagaimana Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani?
3.      Bagaimana Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat?
4.      Apa yang dimaksud Manajemen Zakat dan Waqaf?

D.    Tujuan Makalah

1.      Untuk mengetahui bagaimana Konsep Masyarakat Madani.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.
3.      Untuk Mengetahui bagaimana Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat.
4.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud Manajemen Zakat dan Waqaf.


 

BAB II
ISI

A.    Konsep Masyarakat Madani

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Pada masa-masa sekarang ini, makna masyarakat lebih mengarah kepada masyarakat sipil atau terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja.
Antara masyarakat madani dan civil society, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, sedikit berbeda konteks walaupun sangat mirip secara substansi. Masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi islami. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan hasil dari proses modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaissance (gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan). Ini membuat konsep civil society sempat diindikasi mempunyai aspek moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam suatu proses agama. Dari alasan ini, masyarakat madani kemudian diidentifikasi sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang sangat majemuk, memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market (suatu aktivitas sosial yang terbentuk secara sukarela tanpa adanya intervensi pemerintah/pasar)” Merujuk pada Bahmueller (1997).
Di Indonesia, konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di Indonesia yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, rasanya perlu ada analisa lebih jauh dan secara historis terkait kemunculan masyarakat madani dan kemunculan istilah masyarakat sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam kutipan yang lain, masyarakat sipil diterjemahan dari istilah Inggris civil society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis (sekuler). Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instrumental.
Seperti ahli sosiologi Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang/militer saat itu), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung mengacu kepada konsep masyarakat menurut Ibnu Khaldun. Deskripsi beliau justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.
Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas, seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yatsrib berubah menjadi Medinah bermakna disanalah agama berlaku (lih. Alatas, 2001:7).
Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

B.     Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab atau masyarakat madani adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDA) melalui pendidikan, pendidikan di sini tidak hanya pendidikan dalam bidang umum tetapi harus di barengi dengan pendidikan akhlak dan pendidikan karakter sejak dini, karena peranan akhlak sangat besar dalam menciptakan manusia yang beradab. Dalam Al-Qu’an Surat Ali Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Untuk mewujudkan masyarakat beradab tentunya dengan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadist dan kita sebagai umat muslim harus mencontoh dan menjadikan baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai panutan hidup, Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
Selain dalam bidang pendidikan peranan umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab atau masyarakat madani adalah harus ditingkatkan dalam bidang ekomoni. Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah SWT dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat. Allah SWT melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Syu’ara ayat 183: “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat.
Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat, dalam Al-Qur’an surat. An-Nahl ayat 71 disebutkan: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Oleh karena itu untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini dengan tetap memegang teguh Al-Qur’an dan Hadist sebagai landasan hidup kita.

C.    Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

1.      Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalamrukun iman dan rukun Islam. 
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
2.      Tujuan Ekonomi Islam
Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat. 
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
a.       Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
b.      Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah. 
c.       Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). 
Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
• keselamatan keyakinan agama ( al din)
• kesalamatan jiwa (al nafs)
• keselamatan akal (al aql)
• keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
• keselamatan harta benda (al mal)
3.      Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a.       Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b.      Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c.       Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. 
d.      Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja. 
e.       Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang. 
f.        Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti. 
g.      Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab) 
h.      Islam melarang riba dalam segala bentuk.

D.    Manajemen Zakat dan Waqaf

1.      Zakat
Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kata dasar “zaka” berarti bertambah dan tumbuh, sedangkan segala sesuatu yang bertambah disebutkan dengan zakat. Adapun dari segi istilah, banyak ahli yang mengatakan ataupun mendefinisikan. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.
Menurut Imam Nawawi jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan kekayaan orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bertambah.
Allah telah berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak, harta perdagangan, harta galian (harta rikaz).
Sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Fi sabilillah, Ibnussabil.[9]
A.    Syarat-syarat Zakat
Menurut Yusuf al-Qardawi, syarat – syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
1. Pemilikan yang sempurna
2. Berkembang
3. Cukub senisab
4. Melebihi kebutuhan pokok
5. Bebas dari hutang
6. Berlaku satu tahun
B.   Tujuan Zakat
  Tujuan-tujuan  tersebut diantaranya yaitu :
1. Mengankat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup dan penderitaan.
2. Membantu memecahkan masalah yang hidup dihadapi oleh para ibnusabil dan mustahiq lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir atau loba pemilik harta.
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri dalam hati orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dan pada diri sendiri.
8.  Mendidik manusia disiplin menunaikan kewajibannya untuk menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
9.  Sarana pemerataan pendapatan (rizqi) untuk mencapai keadilan social.
Dari tujuan-tujuan diatas tergambar bahwa zakat merupakan salah satu ibadah khusus kepada Allah yang mempunyai dampak positif  yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat.
2.      Manajemen Wakaf
Wakaf di satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.
A.    Pengertian Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah memberikan sesuatu barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakaf). Sebagaimana hadits:
Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).
B. Rukun Wakaf
1. Yang berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri
2. Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.
3. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
4. Lafadz wakaf.
C. Syarat Wakaf
a.    Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
b.    Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.
c.    Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.
D. Hukum Wakaf
Pemberian wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum.



 

BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan

Dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya.
Di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada pula wakaf, wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi ibadah, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.

B.     Saran


Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kedepannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan masalah yang dibahas pada makalah ini. Jika dalam penulisan dan materi kami masih kurang paham pembaca bisa mencarinya kembali di website, Al Qur’an, maupun Al Hadist.

Post a Comment

0 Comments